Garis Imajiner Yogyakarta: Gunung Merapi
Oleh: Almas Hammam Firdaus
“Orang bilang ada kekuatan-kekuatan yang dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudra, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”
-Pramoedya Ananta Toer, dalam buku Rumah Kaca-
Setelah sebelumnya saya mengulas tentang Tugu Golong Gilig–yang mana masih merupakan tempat yang berhubungan dengan Garis Imajiner Yogyakarta, maka pada tulisan kali ini saya akan mengulas tempat yang berhubungan langsung dengan Garis Imajiner Yogyakarta lainnya, sekaligus menjadi tempat terakhir atau puncak dari Garis Imajiner Yogyakarta. Tempat tersebut adalah Gunung Merapi.
Secara administratif Gunung Merapi terletak di dua Provinsi yakni Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Lebih tepatnya lereng sisi selatan masuk wilayah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya masuk wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara.
Membahas tentang Gunung Merapi, gunung ini merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di Pulau Jawa, bahkan di Indonesia. Riwayatnya kerap dikait-kaitkan dengan cerita rakyat atau mitologi Jawa yang bahkan masih dipercaya oleh sebagian orang hingga saat ini. Kendati demikian sejarah Gunung Merapi sebenarnya bukan hanya sekedar legenda.
P. Berthommier dalam penelitiannya yang berjudul “Volcanological Study of Merapi (Central Java): Tephrostratigraphic and Chronology-Eruptive Products” (1990) menyatakan bahwa periodisasi Gunung Merapi dibagi menjadi 4 tahap, yaitu; tahap fase Pra Merapi, fase Merapi Tua/ Purba, fase Merapi Pertengahan, dan fase Merapi Baru.
Fase Pra Merapi terjadi kurang lebih 400 ribu tahun yang lalu. Pada tahap pertama ini Gunung Merapi belum lahir. Pada waktu itu gunung yang berdiri adalah Gunung Bibi yang letaknya kira-kira di sebelah timur Merapi kalau sekarang (masuk wilayah Boyolali).
Setelah Gunung Bibi ini meletus dahsyat dan hancur, maka tumbuhlah gunung baru di sebelah baratnya sekitar 60 ribu tahun yang lalu yang kelak menjadi Gunung Merapi. Inilah fase Merapi Tua/Purba. Lava Basaltik (endapan batuan dari pembekuan magma) gunung ini membentuk dua bukit yang kemudian sekarang dikenal dengan Bukit Turgo dan Plawangan yang terletak di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Periode ketiga disebut dengan fase Merapi Pertengahan yang terjadi sekitar 8 ribu tahun silam. Lelehan lava Gunung Merapi pada tahap ini membentuk Bukit Batulawang dan Gajahmungkur. Area kawah juga terbentuk pada periode ini.
Tahap terakhir adalah fase Merapi Baru yang dimulai sejak 2 ribu tahun yang lalu. Kawah yang terbentuk pada periode ketiga membentuk kerucut di puncak Merapi. Dari beberapa penelitian yang dilakukan diperkirakan pernah terjadi beberapa kali letusan selama fase Merapi Baru ini. Salah satunya yang terkenal ialah letusan Gunung Merapi pada tahun 1006 yang mana menyebabkan ibukota Kerajaan Mataram Kuno harus dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok (Lihat: R.W. van Bammelen, 1949, dan D.H. Labberton, 1922).
Selain itu letusan Merapi pada tahun 1006 membawa dampak terkuburnya Candi Sambisari, yang mana candi yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Rakai Garung dari Kerajaan Mataram Kuno ini ditemukan pertama kali pada 1966 berada pada kedalaman 6,5 meter di bawah tanah yang tidak lain diakibatkan timbunan lahar dingin Merapi (Lihat: Supriati Dwi Andreastuti, Chris Newhall dan Joko Dwiyanto, 1999).
Lalu membahas tentang Garis Imajiner Yogyakarta, Gunung Merapi ini memiliki filosofi yang dalam yang mana juga berkaitan dengan tempat yang berhubungan dengan Garis Imajiner Yogyakarta sebelumnya yakni Pantai Parangkusumo, Panggung Krapyak, Alun-alun Selatan, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Alun-alun Utara, Jalan Malioboro, Jalan Margo Utomo, dan Tugu Golong Gilig, yang mana dari Pantai Parangkusumo sampai Panggung Krapyak melambangkan hubungan suami dan istri yang kemudian menjadi benih lalu dilanjutkan dari Panggung Krapyak sampai Alun-alun Selatan melambangkan fase kelahiran manusia. Lalu dari Alun-alun Selatan sampai Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat melambangkan pertumbuhan manusia muda. Kemudian dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sampai Alun-alun Utara melambangkan fase manusia muda menuju dewasa. Lalu dari Alun-alun Utara sampai Jalan Malioboro melambangkan fase kejayaan manusia (kehidupan pribadi dan karier), dari Jalan Malioboro sampai Jalan Margo Utomo melambangkan fase masuknya manusia dewasa ke masa tua, dari Jalan Margo Utomo sampai Tugu Golong Gilig melambangkan fase meninggalnya manusia dari alam duniawi dan masuk ke alam berikutnya. Dan yang terakhir dari Tugu Golong Gilig sampai Gunung Merapi melambangkan tempat terakhir dan tertinggi jiwa manusia akan bersemayam yang dalam hal ini adalah nirwana atau surga. Selain itu juga Gunung Merapi yang berelemen api memiliki filosofi sebagai ayah yang mempunyai sifat menjaga dan melindungi.
Jadi, dapat disimpulkan keberadaan Gunung Merapi sangat penting, meskipun kerap menimbulkan bencana yang merugikan tapi tidak dipungkiri Gunung Merapi ini memang sangat penting dan menjadi saksi sejarah perjalanan bangsa ini.
Berkat Gunung Merapi–yang sering erupsi–bangsa ini jadi belajar bagaimana menyikapi dan menghadapi bencana serta bagaimana menanggulanginya. Selain itu dari sisi filosofis Gunung Merapi ini menjadi tempat istimewa bagi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan juga orang Jawa khususnya orang Jogja–yang mana Gunung Merapi ini diibaratkan sebagai ayah dari daripada Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Bahkan ada cerita mitos turun temurun yang menyebutkan bahwasanya apabila Gunung Merapi meletus dan letusannya sampai melanda Yogyakarta berarti “Wong Jawa wis ilang Jawane” atau orang Jawa khususnya generasi muda Yogyakarta sudah kehilangan kejawaanya. Mungkin kisah ini belum terbukti kebenarannya tapi setidaknya kita bisa mencermati pesan yang mendalam dari cerita mitos tersebut yang mana kita sebagai orang Jawa khususnya generasi muda Jawa jangan sampai kita melupakan budaya, adat dan tradisi kita sebagai orang Jawa. Jangan sampai seperti yang sudah-sudah budaya kita diklaim oleh bangsa atau negara lain. Kalau bukan kita yang menjaga dan melestarikan ya siapa lagi.
Demikian pembahasan tentang Gunung Merapi sebagai tempat dan perjalanan terakhir dari Garis Imajiner Yogyakarta, mudah-mudahan bermanfaat dan menambah literasi panjenengan sedoyo, apabila ada tambahan bisa ditambahkan di kolom komentar dan tetap nantikan tulisan-tulisan saya selanjutnya. Matur Suwun.
Posting Komentar untuk "Garis Imajiner Yogyakarta: Gunung Merapi"