Krisis Fashoda: Puncak Sengketa antara Inggris dan Prancis di Afrika (1898)
Krisis Fashoda. Ilustrasi/ Adien Tsaqif Wardhana |
Latar Belakang Konflik
Ketegangan antara Inggris dan Prancis, sudah terjadi sebelum adanya krisis antara dua negara koloni terbesar tersebut. Sebelumnya Inggris dan Prancis telah melakukan perjanjian-perjanjian batas wilayah kekuasaan di Afrika.
Perjanjian awal terjadi di tahun 1890, dengan mengeluarkan perjanjian penentuan batas yang merugikan tetapi juga menguntungkan bagi Prancis. Ketegangan antara kedua negara tersebut sampai di titik perebutan wilayah Afrika Tengah, di lembah Sungai Nil yaitu wilayah terpencil di Sudan bernama Fashoda.
Perebutan wilayah tersebut dikenal dengan Krisis Fashoda, yang mengancam terjadi perang antara Inggris dan Prancis. Kedua negara tersebut memiliki cita-cita untuk memperluas wilayah jajahannya, dari Inggris bercita-cita mewujudkan From Cape to Cairo, sedangkan Prrancis mewujudkan From Atlantik to Hindia yang wilayah tersebut bertemu di titik strategis, dan membentuk seperti salib (Prrancis dari barat ke timur, Inggris dari utara ke selatan)
Krisis Fashoda Inggris dan Prancis di Afrika
Di tahun yang sama yaitu 1896, kedua negara tersebut melakukan ekspedisi ke wilayah Afrika Timur dalam rangka mewujudkan cita-cita kedua negara tersebut. Inggris melakukan ekspedisi menuju Afrika Timur di bawah kepemimpinan Lord Kitchener, sedangkan Prancis mengirimkan ekspedisi di bawah pimpinan Kapten J.B Marchand. Prancis telah sampai di Bahr-el-Ghazal, sedangkan Inggris berhasil menaklukkan wilayah Omdurman, kemudian melanjutkan perjalanan menuju wilayah Sudan (Fashoda).
Di tengah perjalanannya menuju Fashoda, Inggris menerima surat dari Prancis bahwasanya isi surat tersebut Prancis mengucapkan selamat atas kemenangan Inggris menaklukkan Omdurman juga atas perintah pemerintahannya harus menduduki wilayah Bahr-el-Ghazal, Meshra-er-Req, kemudian daerah pertemuan antara Sungai Bahr el Jebel dan Sungai Nil Putih, daerah Shilluk hingga Fashoda.
Ketika ekspedisi Inggris tiba di Fashoda, Lord Kitchener melihat ada bendera Prancis dikibarkan di wilayah Fashoda. Ketegangan antara kedua pemimpin tersebut tidak dapat dihindari, Kitchener mengatakan bahwa pengibaran bendera Prancis di tanah Fashoda merupakan suatu tindakan pelecehan. Namun, pernyataan itu dibalas Marchand sebagai bentuk tunduk kepada pimpinan pemerintahnya yang dia harus menguasai wilayah Bahr-el-Ghazal dan Fashoda. Pertemuan kedua pemimpin ini tidak menemukan titik terang sehingga Kitchener memberikan usul agar masalah-masalah di Fashoda diselesaikan melalui pemerintahan Inggris dan Prancis.
Bagi kedua negara ini masalah Fashoda merupakan sengketa yang pelik. Dengan kedudukan Inggris yang masih memegang konsep politik isolasi dan penolakan Inggris untuk bergabung dengan Triple Alliance bersama dengan Jerman yang memicu kantor berita Jerman menyebarkan isu bahwasanya politik isolasi Inggris memiliki makna bahwa Inggris berada dalam posisi lemah, tidak memiliki sekutu, dan juga tidak memiliki kawan. Kemudian persepsi Inggris terhadap bergabungnya Prancis dengan Dual Alliance bersama Rusia menjadi ancaman sendiri bagi Inggris, sebab bila nantinya Rusia membantu Prancis maka kekuatan perang Prancis semakin kuat.
Prancis yang merasa bahwa Inggris selalu mencari celah untuk melakukan peperangan juga ditambah dengan kebingungan Prancis yang dihadapkan terhadap dua pilihan antara menghentikan ekspedisi Marchand dan bergabung dengan aliansi Jerman dan melakukan perang melawan Inggris, atau memenuhi tuntutan Inggris. Pada akhirnya, Prancis memilih untuk memenuhi tuntutan Inggris, hal tersebut dikarenakan minimnya kekuatan Prancis (belum siap berperang), dan juga dikarenakan wilayah Sudan dan Mesir merupakan wilayah kekuasaan Inggris.
Akhir Krisis Fashoda
Krisis Fashoda, disebut juga sebagai akhir dari permusuhan antara Inggris dan Prancis, setelah ketegangan enam tahun antara Marchand dan Kitchener yang saling bersikukuh untuk menguasai Fashoda. Prancis memenuhi segala tuntutan Inggris, bagi Prancis akhir Krisis Fashoda membawa harga diri Prancis hilang, akan tetapi penyelesaian Krisis Fashoda ini membawa hubungan permusuhan Inggris dan Prancis sedikit-demi sedikit berakhir. Krisis Fashoda ini berhasil diselesaikan melalui perjanjian Condominium Agreetment dan Cordiale Entente.
Hasil perjanjian tersebut membawa wilayah Sudan diperintah oleh Mesir dan Inggris, setelah Khalifa ‘Abd Allahi wafat, Sudan sepenuhnya dikuasai oleh Inggris di bawah pimpinan Lord Kitchener. Prancis menyetujui perjanjian tersebut dengan melepaskan wilayah Bahr-el-Ghazal dengan ganti Prancis menerima Kerajaan Wadai sebagai penghubung Prancis dengan wilayah koloninya di bagian barat laut. Agaknya Krisis Fashoda membawa sindrom bagi Prancis dalam Perang Dingin, yang menganggap Amerika sebagai ancaman seperti anggapan Prancis terhadap Inggris di Afrika.
Posting Komentar untuk "Krisis Fashoda: Puncak Sengketa antara Inggris dan Prancis di Afrika (1898)"