Kapal Jung Nusantara
Kapal Jung Nusantara. Ilustrasi: Wikipedia |
Oleh: Muhammad Ath Thaariq Aziizi
Kapal Jung Nusantara - Bentuk kepulauan menjadikan laut sebagai sarana penghubung interaksi masyarakat antarpulau di Nusantara. Sebagai salah satu dampaknya berkembanglah aktivitas maritim.
Berkembangnya kemaritiman menghasilkan berbagai bentuk budaya maritim di Nusantara. Salah satu hasil budaya maritim yang tentunya paling dibutuhkan adalah alat transportasi laut.
Bermacam-macam bentuk alat transportasi laut berkembang di
nusantara salah satunya adalah kapal jung.
Jung merupakan kapal kayu besar dengan dua/tiga tiang, kemudi ganda, dan lunas berskala tonase. Jung dalam bahasa Inggris disebut sebagai junk. Kata ini masuk ke telinga bangsa Barat dari bahasa Melayu dan Jawa yaitu “jong”.
Teks-teks Cina pada masa ini juga meyakini kata “jong”
sebagai bahasa Melayu dari “kapal”. (Reid, 1993: 36) Menurut tulisan-tulisan
Barat, Jung dibuat tanpa menggunakan paku dan hanya dengan peralatan sederhana
seperti kapak, dan pahat pada khususnya.
Penggambaran orang Eropa pertama mengenai kapal yang menyerupai jung yaitu oleh Ludivico di Vartheme yang menjelaskan bahwa di Pidie sekitar tahun 1504 mereka membuat kapal besar yang disebut sebagai giunchi. Kapal ini membawa tiga tiang, dengan dua kemudi serta memiliki haluan di depan dan belakang.
Anthony Reid mengutip Cortesão,
jung terbesar yang pernah dilihat yaitu pengangkut pasukan untuk serangan Jawa
terhadap Malaka pada tahun 1513 dengan beberapa lambung dan berat sekitar 1000
ton. (Reid, 1993: 39)
Terdapat beberapa wilayah di Nusantara sebagai tempat produksi jung. Dalam sumber-sumber Portugis menyebutkan tiga wilayah utama. Pertama di pantai utara Jawa, khususnya wilayah sekitar Rembang dan Cirebon. Kedua di pantai selatan Kalimantan.
Kemudian yang ketiga di Pegu, Teluk Martaban yang mungkin menjadi
pusat produksi jung, Ketiga wilayah tersebut terkenal dengan produksi kayunya
khususnya kayu jati. (Manguin, 1980: 272)
Kapal jung disebut juga oleh penulis Barat dari Portugis pada abad ke-16, Tomé Pires. Menurut catatan Tomé Pires, Cirebon mempunyai tiga sampai empat jung, Tegal satu jung, Semarang tiga jung, dan Demak memiliki jung sebanyak 40 buah.
Ini
merupakan kondisi sebelum dilancarkannya serangan bersama yang dipimpin oleh
Demak terhadap Portugis di Malaka. Serangan ini mengalami kegagalan, yang
berakibat pada pemusnahan armada jung. (Lapian,
2017: 50)
Menurut catatan orang Belanda, Lodewijcksz, di Banten juga ditemui jung yang digunakan untuk pelayaran jauh seperti ke Maluku, Banda, Kalimantan, Sumatera, dan Malaka. Jung mereka memiliki layar kecil di depan dan juga dengan dua atau tiga tiang.
Terdapat juga geladak beratap di haluan sampai
belakang yang digunakan sebagai tempat berteduh. Pada bagian belakang
dilengkapi dengan anjungan tempat nakhoda dan di bagian bawah digunakan sebagai
tempat barang yang terbagi dalam petak-petak. (Lapian, 2017: 30)
Selain di Nusantara atau Asia Tenggara, jung juga berkembang di Tiongkok, karakteristiknya pun hampir sama dengan jung Jawa dengan kapasitas barang yang besar, papan lambung berlapis, dan dilengkapi beberapa layar. Terdapat dua hal yang membedakan jung Tiongkok dan jung Nusantara.
Pada teknik konstruksinya,
jung Tiongkok selalu menggunakan paku besi dan klem besi, sedangkan jung Nusantara
menggunakan kayu untuk menyambung komponen kapalnya seperti pasak dan tenon (tengah). Lalu sistem kemudinya,
pada jung Tiongkok menggunakan satu kemudi (sternpost
rudder), sedangkan jung Jawa menggunakan kemudi ganda (lateral) di samping.
(Manguin, 1980: 272)
Dalam perkembangannya secara umum, kapal-kapal di Asia Tenggara menjadi lebih kecil dan jumlahnya menjadi lebih banyak. Pada pertengahan abad ke-17, kapal di nusantara tidak lagi disebut sebagai “jung”. Kapal yang terbesar adalah milik para penguasa/raja-raja, berupa galai perang atau kapal barang dengan desain Eropa atau Cina.
Kemudian kata “jung” dimaksudkan untuk kapal-kapal milik Cina yang berbobot 200-800 ton. Hilangnya jung-jung Nusantara yang besar tidak sulit untuk dipahami mengingat catatan Portugis tentang malapetaka yang dilakukan orang Eropa di antara mereka.
Kapal-kapal jung yang sangat besar memaksimalkan keuntungan dalam pelayaran perdagangan yang damai, tetapi mereka kekurangan kecepatan untuk melarikan diri dan kemampuan manuver serta daya tembak untuk melawan kapal-kapal Eropa.
Pada abad ketujuh belas hanya orang Eropa dan Cina
yang merasa cukup aman untuk menggunakan kapal pengangkut barang dengan ukuran yang
sangat besar. (Reid, 1993: 39-42)
Sumber
Lapian,
Adrian B. (2017). Pelayaran dan Perniagaan
Nusantara Abad Ke-16 dan 17. Depok: Komunitas Bambu.
Manguin, P. (1980). The
Southeast Asian Ship: An Historical Approach. Journal of Southeast Asian
Studies, 11(2), 266-276.
Reid,
Anthony. (1993). Southeast
Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two: Expansion and Crisis. New Haven dan London: Yale University
Press.
Posting Komentar untuk "Kapal Jung Nusantara"