Kebijakan Sosial Pemerintah Jepang di Indonesia
Kebijakan Sosial Pemerintah Jepang di Indonesia |
Kebijakan Sosial Pemerintah Jepang di Indonesia - Sama dengan kebijakan-kebijakan di bidang lainnya, kebijakan jepang di bidang sosial juga penuh propaganda. Dalam bidang ini, Jepang memberikan pengaruhnya melalui kehidupan sosial masyarakat, pendidikan, dan komunikasi.
Menurut Ricklefs, kebijakan-kebijakan Jepang di Indonesia memiliki dua kepentingan yakni untuk menghilangkan pengaruh Barat dan memanfaatkan rakyat dalam Perang Pasifik. Jepang bersifat sangat anti-Barat ini didasarkan pada situasi saat itu yang sedang dalam masa Perang Dunia II.
Jepang berkeinginan untuk menghilangkan pengaruh Barat yakni Belanda di Indonesia dan menggantinya dengan budaya-budaya mereka.
Dalam mewujudkan tujuan tersebut Jepang melakukan kebijakan salah satunya melarang penggunaan Bahasa Belanda.
Sebagai gantinya, masyarakat Indonesia diwajibkan menggunakan Bahasa Jepang di samping Bahasa Indonesia.
Kebijakan ini menarik simpati rakyat Indonesia yang mana seakan-akan Jepang mengakui identitas bangsa Indonesia, padahal itu adalah salah satu alat propaganda Jepang. Terlebih lagi di masa pemerintah kolonial Belanda, penggunaan Bahasa Indonesia sempat dilarang. (Ricklefs, 2007)
Perubahan penggunaan bahasa tersebut juga diterapkan di sekolah-sekolah. Bahasa yang digunakan di sekolah sebelumnya adalah bahasa Belanda dan bahasa Melayu kemudian diganti dengan bahasa Indonesia dengan bahasa pengantar yaitu bahasa Jepang untuk menghilangkan segala sesuatu yang berbau Barat. Kebijakan Jepang ini juga berpengaruh pada pesatnya perkembangan bahasa Indonesia.
Buku-buku pelajaran yang disusun Belanda sebelumnya dipakai oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Setelah datangnya Jepang buku-buku tersebut disensor.
Jepang menghapus hal-hal yang berbau Belanda. Jepang meralat buku-buku Belanda, menyusun buku-buku baru berdasarkan yang disusun Belanda, dan mencetak buku baru yang sama dengan buku sekolah dasar di Jepang.
Konten yang sebelumnya berbau Eropa, disensor dan diganti dengan lebih terfokus pada Asia Timur, terutama Jepang. Pada sampul dan pengantar buku pelajaran yang semula berbahasa Belanda diganti dengan bahasa Indonesia dan Jepang.
Sampul buku diganti dengan hal-hal yang identik dengan Jepang seperti gambar pohon sakura, Gunung Fuji, bendera Jepang, dan prajurit Jepang.
Pengantar buku yang Belanda-sentris dan budaya-budaya Barat diubah dengan lebih banyak membahas Asia terutama Jepang-sentris. Banyak Misalnya kata “Hindia Belanda” diganti dengan “Indonesia”, dan “Djapoen” diganti dengan “Nippon”, sistem tahun Masehi berubah menjadi Koki yang digunakan Jepang.
Mata pelajaran pada masa Belanda masih dipakai di masa pendudukan Jepang namun juga ditambah beberapa mata pelajaran. Namun materi-materi mengenai Belanda banyak yang diganti dengan Jepang. (Kawamura, 2004)
Kebijakan Jepang di bidang sosial juga mencakup program-program berikut.
- Taiso, diwajibkannya senam pagi sebelum pembelajaran dimulai untuk memelihara kesehatan jasmani dan mempertahankan semangat Jepang
- Kyoren, pendidikan untuk pelatihan kemiliteran.
- Kinrohoshi, siswa dilatih untuk kerja bakti seperti membersihkan lingkungan sekolah menanam jarak dan lain-lain terutama hal-hal yang berbau kepentingan perang.
- Chorei, melakukan apel pagi sebelum pembelajaran dimulai.
- Kimigayo, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo.
- Seikerei, sikap penghormatan dengan membungkukkan badan ke arah timur (arah matahari terbit) setiap pagi.
Program-program tersebut memang bersifat militeristis yang mana dikarenakan perwakilan Jepang di Indonesia adalah angkatan perang mereka.
Sehingga, kebijakan-kebijakan yang diterapkan sangat erat berhubungan dengan kegiatan-kegiatan militer. Rakyat juga diwajibkan untuk melakukan pekerjaan yang memiliki nilai guna bagi masyarakat luas, seperti memperbaiki jalan, saluran air, atau menanam pohon jarak.
Dalam menghadapi rakyat, mereka juga sering sewenang-wenang, yang ditandai dengan banyaknya penangkapan, penahanan, dan penyiksaan.
Namun, yang paling kejam dan parah yakni kejahatan seksual yang dilakukan oleh para tentara Jepang menjadikan para wanita sebagai budak seksual mereka. Para wanita ini dikenal sebagai “Jugun Ianfu”.
Kebijakan Jepang di bidang sosial juga diterapkan pada komunikasi rakyat. Pemerintah militer Jepang di Indonesia mengontrol penuh alat-alat komunikasi di antaranya koran, radio, film, dan sandiwara.
Hal ini bertujuan untuk menyebarkan propaganda-propaganda Jepang. Selain itu, ini juga digunakan untuk menutupi situasi dan keadaan sesungguhnya Jepang di Perang Dunia II, yang mana saat itu di ambang kekalahan oleh Sekutu.
Jepang melarang koran-koran kepemilikan orang-orang Indonesia, Cina, dan Belanda untuk terbit dan beredar. Sebagai gantinya, Jepang menerbitkan sendiri surat kabar bernama “Soeara Asia”.
Pemerintah militer Jepang juga mendirikan sebuah perserikatan untuk koran-koran di Jawa, dengan nama “Jawa Shibunkai”. Perserikatan ini juga menjadi badan hukum dan pengawas surat-surat kabar di bawah naungannya.
Selain surat kabar, radio juga diawasi dengan ketat dan dipasang di berbagai wilayah sebagai sarana penyebaran propaganda. Siaran radio-radio juga banyak dilarang khususnya, dari pihak Sekutu.
Namun, penyensoran ini tetap bisa ditembus oleh gerakan bawah tanah, misalnya Sutan Sjahrir yang mendengar kalahnya Jepang di Perang Dunia II.
Posting Komentar untuk "Kebijakan Sosial Pemerintah Jepang di Indonesia"