Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Prasasti Wurare: Membongkar Sejarah Singasari dan Strategi Politik Raja Kertanegara

Prasasti Wurare / Istimewa


Prasasti Wurare adalah prasasti yang dipahatkan di Patung Joko Dolog yang ditemukan di daerah Kandang Gajah, Wurare, Lemah Tulis, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pada tahun 1817, patung ini dipindahkan ke Surabaya oleh Residen Baron A.M. Th. de Salis, dan saat ini berada di Jalan Taman Apsari, Surabaya.

Prasasti ini diteliti oleh beberapa pakar, termasuk H. Kern, R. Ng. Poerbatjaraka, dan Amrit Gomperts. Bill M. Mak menggabungkan transliterasi dari ketiga tulisan para pakar tersebut. Prasasti Wurare ditulis dalam bahasa Sansekerta dan diberi tanggal 1211 (21 November 1289).

Arti atau terjemahan dari Prasasti Wurare menyatakan bahwa puji syukur diberikan kepada Sang Tathagata, Sang Maha Tahu yang tersembunyi di antara unsur kehidupan dan bebas dari ketiadaan dan keniscayaan. Prasasti juga mencatat tentang Raja Kertanegara dan seorang pendeta bernama Arya Bharada. Arya Bharada membelah tanah Jawa menjadi dua kerajaan, Janggala dan Panjalu, dengan menggunakan air ajaib dari kendinya untuk menghindari perang saudara antara dua pangeran yang bersaing untuk kekuasaan.

Prasasti ini juga menyatakan bahwa patung Joko Dolog dipersembahkan sebagai perwujudan Mahāksobhya, yang merupakan Budha Aksobhya. Patung ini menggambarkan Raja Kertanegara sebagai Mahakasobya, yang diyakini telah menyatu dengan dewa tersebut.

Pada abad ke-13, setelah meninggal, para raja memiliki kecenderungan untuk dianggap sebagai tokoh dewa. Oleh karena itu, patung Joko Dolog sebagai perwujudan Raja Kertanegara sebagai Aksobya juga mencerminkan kecenderungan tersebut.

Raja Kertanegara mengeluarkan Prasasti Wurare dengan beberapa maksud dan tujuan yang perlu ditelusuri melalui atribusi sumber sejarah. Prasasti tersebut mencatat reunifikasi yang dilakukan oleh Wisnuwardhana sebagai ayah Kertanegara. Kertanegara sendiri adalah keturunan keempat dari Sri Rajasa Sang Amurwabhumi atau Ken Arok. Ken Arok merupakan seorang raja nyata bukan mitos dan Kendedes adalah istrinya.

Meskipun terdapat banyak mitos seputar Ken Arok, Pararaton dianggap sebagai karya sejarah yang menjelaskan perjalanan Ken Arok menjadi raja Singasari setelah menumbangkan Raja Kertajaya dari Kerajaan Kediri. 

Pararaton juga menyebutkan bahwa Ken Arok mewakili Jenggala (belahan timur) dan Kertajaya mewakili Daha (belahan barat). Reunifikasi antara Jenggala dan Panjalu dilakukan oleh Rajasa atau Ken Arok hingga mencapai Kertanegara. Pada saat pembuatan Prasasti Wurare, kedua wilayah masih memiliki rasa dendam terhadap satu sama lain.

Prasasti Wurare merupakan pernyataan politik Kertanegara yang ditujukan kepada publik di Kerajaan Singasari. Tujuan politiknya adalah ke internal, yaitu menyatukan semua komponen Kerajaan Singasari, dan ke eksternal, yaitu menghadapi ancaman dari Tiongkok. Prasasti ini memberikan kepastian kepada keturunan Airlangga bahwa pembagian wilayah ini adalah sah dan didukung oleh Sang Maha Pencipta. Mpu Maha Sakti, Bharada, dengan izin-Nya, membantu dalam pembagian wilayah dengan mengalirkan air suci dari langit, yang membentuk Kali Brantas. 

Prasasti tersebut juga menegaskan larangan terhadap klaim dan niat untuk menyatukan kembali kedua kerajaan tersebut, yang dianggap sebagai bahaya laten. Hal ini menggambarkan doktrin bahwa kehancuran Jenggala dan Panjalu sebelumnya adalah takdir yang harus diterima karena tidak mengikuti perintah Sang Maha Pencipta melalui keputusan Airlangga.

Dalam Prasasti Wurare, Kertanegara disebut dengan gelar Sri Jnanasiwawajra atau Sri Jinasiwawajra. Gelar tersebut mengandung maksud untuk mendapatkan dukungan politik dari umat Buddha, agama yang dianut Kertanegara, serta untuk merangkul umat agama Hindu. 

Kertanegara adalah seorang penganut Siwa dan Budha, dan gelar tersebut juga memiliki unsur kata Siwa yang merupakan dewa yang disembah oleh umat Hindu dan merupakan lambang seorang pemimpin perang. Strategi Kertanegara ini bertujuan untuk merangkul semua golongan dan wilayah yang sebelumnya terpecah.

Sumber-sumber yang diatribusikan termasuk Pararaton, penulis seperti Hardjowardojo, Kriswanto, Yusup, Munandar, Suwardono, dan Kasdi memberikan informasi tentang Kertanegara, Ken Arok, Kendedes, pembagian wilayah, dan strategi politik Kertanegara. Melalui atribusi sumber sejarah ini, dapat ditemukan informasi mengenai maksud, tujuan, dan konteks di balik Prasasti Wurare yang dikeluarkan oleh Raja Kertanegara.

Prasasti Wurare yang dikeluarkan oleh Raja Kertanegara memiliki konteks historis yang penting untuk memahami kondisi sosial, politik, dan budaya saat itu. Pada masa pemerintahan Kertanegara, Singasari menghadapi ancaman dari pemberontakan dalam negeri dan serangan dari Mongol.

Beberapa pemberontakan terbesar terjadi dari keturunan penguasa yang dulunya ditaklukkan oleh Singasari, seperti pemberontakan Cayaraja dan Mahisa Rangga. Konflik antara keturunan Daha dan Jenggala juga masih berlanjut hingga masa Kertanegara. Pergolakan politik dan pemberontakan di dalam negeri mengancam stabilitas kerajaan.

Kertanegara merasa khawatir akan upaya pengambilalihan kekuasaan dari pihak-pihak yang masih tidak puas, yang merasa memiliki hak atas tahta yang dulunya direbut oleh Ken Arok, leluhur Kertanegara. Hal ini terbukti dengan pemberontakan atau kudeta yang dilakukan oleh Jayakatwang, besan Kertanegara.

Selain itu, masa pemerintahan Kertanegara juga dipenuhi dengan ancaman dari kekuatan eksternal, terutama Mongol. Pada tahun 1292 Masehi, pasukan Mongol yang dipimpin oleh Men Shi atau Meng-qi datang dengan maksud untuk memaksa Singasari mengakui supremasi Mongol. Namun, Kertanegara menolak tegas dan bahkan memperlakukan utusan Mongol dengan tidak manusiawi.

Untuk menjaga perdamaian dan kesatuan Kerajaan Singasari, Kertanegara mengambil langkah-langkah politik baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di dalam negeri, Kertanegara melakukan upaya meredam ancaman dengan menikahkan putrinya dengan anak Jayakatwang. Selain itu, penobatan Kertanegara sebagai Jina (Budha Agung) juga dilakukan sebagai langkah agamis untuk menghadapi berbagai ancaman.

Di luar negeri, Kertanegara melakukan lobi politik dan penghimpunan kekuatan dengan mengirim pasukan ekspedisi, yang dikenal sebagai Ekspedisi Pamalayu. Tujuannya adalah untuk menunjukkan superioritas kerajaan dan mendapatkan dukungan dari kerajaan lain dalam menghadapi ancaman Mongol. Namun, kebijakan ini juga berdampak buruk pada keamanan dalam negeri, karena pasukan militer Singasari menjadi berkurang dan lemah.

Akhirnya, kebijakan politik luar negeri dan pemberontakan dalam negeri, termasuk serangan Jayakatwang, menyebabkan keruntuhan Kertanegara dan kerajaan Singasari. Kontekstualisasi sumber-sumber sejarah, seperti Prasasti Wurare dan Nagarakertagama, membantu kita memahami dinamika dan tantangan yang dihadapi oleh Kertanegara pada masa itu.

Dalam kasus Prasasti Wurare, terdapat beberapa informasi menarik yang dapat ditemukan melalui koroborasi sumber. Prasasti ini menceritakan pembagian wilayah kerajaan Medang menjadi Kerajaan Panjalu (Kediri) dan Kerajaan Jenggala oleh Arya Bharada dengan menggunakan air suci dari langit. 

Cerita tersebut juga ditemukan dalam Nagarakertagama, Kitab Calon Arang, dan Kitab Negarakertagama. Raja Airlangga membagi kerajaannya demi menciptakan keadilan antara kedua putranya, yaitu Mapanji Gerasakan dan Samarawijaya. Prasasti Wurare juga diperkuat oleh Kitab Calon Arang yang menyebutkan peran Mpu Bharada sebagai penasihat keagamaan Airlangga.

Informasi tentang ancaman perpecahan yang terdapat dalam Prasasti Wurare dapat dikonfrontir dengan Kitab Negarakertagama. Kitab tersebut menyebutkan kondisi kerajaan dalam masa Kaliyuga yang dihadapi oleh Kertanegara. Pupuh-pupuh dalam Nagarakertagama menunjukkan kekhawatiran akan perpecahan dan huru-hara dalam pemerintahan.

Pembagian kerajaan yang terungkap dalam Prasasti Wurare juga ditemukan dalam Nagarakertagama dan Kitab Calon Arang. Nagarakertagama menyebutkan bahwa Sri Baginda Kertanagara membinasakan penjahat Mahisa Rangga dan mengirim utusan untuk menghancurkan Bali setelah kalah dalam pertempuran. Kitab Calon Arang juga menyebutkan mitos pembagian kerajaan Airlangga dan peran Mpu Barada dalam pembelahan tersebut.

Proses perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Ken Arok juga dicatat dalam Nagarakertagama. Jayakatwang adalah raja bawahan yang jahat dan berkhianat yang ingin berkuasa di wilayah Kediri setelah Sirnanya raja Kertajaya. Raja Kediri terakhir adalah Jayakatwang sebelum Dyah Wijaya, menantu Baginda Kertanagara, menyerangnya.

Selain itu, Prasasti Gajahmada dan Prasasti Singasari juga dapat dikonfrontir untuk mengungkapkan peristiwa kaliyuga tersebut yang berkaitan dengan pembangunan caitya untuk menghormati Kertanegara.



Editor: A.T.Wardhana

Follow berita Sejarah Kita di Google News


Posting Komentar untuk "Prasasti Wurare: Membongkar Sejarah Singasari dan Strategi Politik Raja Kertanegara"